
Semilir angin pagi membawa aroma tanah yang baru tersentuh hujan semalam. Itu keren, tapi tidak terlalu menusuk. Seolah-olah ada sesuatu yang akan terjadi, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Di jalanan yang biasanya sepi, orang-orang mulai berbisik-bisik tentang pasar aneh yang hanya muncul pada hari Jumat, tepat setelah azan. Tidak ada yang tahu kapan didirikan atau siapa yang membangunnya. Tapi konon di sana orang bisa membeli apapun yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Orang-orang menyebutnya: Pasar Kebaikan.
Saya pertama kali mendengarnya dari seorang anak laki-laki yang lewat di depan rumah sambil membawa sekantong roti dan olesan coklat di tangannya. Dengan polosnya ia berkata, “Kata Ibu, kita bisa membeli kebahagiaan di pasar, asal persediaan kita mencukupi,” lalu berjalan pergi meninggalkanku sendirian.
Saya hanya tertawa saat itu. Saat saya berumur dua puluh tiga tahun, saya sudah tidak lagi mempercayai hal-hal ajaib yang aneh. Hidup ini terlalu nyata dan kenyataan terlalu keras. Namun rasa penasaran yang aneh perlahan muncul di dadaku – seperti orang pada umumnya yang selalu ingin mengetahui sesuatu yang baru. Entah dorongan itu datang dari hati, atau mungkin dari rasa kesepian yang sudah terlalu lama ada.

Pagi itu aku berangkat. Jalan menuju pasar diselimuti kabut tipis, seolah dunia sedang bersembunyi. Tapi langkah kaki orang-orang di depanku memang nyata: tua, muda, miskin, kaya, semuanya berjalan diam-diam ke arah yang sama di ujung sana.
Di ujung jalan tanah berdiri deretan tenda kecil yang berjejer rapi. Tidak ada spanduk, tidak ada harga dan tidak ada penjual yang berteriak-teriak tentang dagangannya. Namun di setiap meja terdapat benda-benda yang tidak biasa: botol berisi cahaya, tas berisi tawa anak-anak, dan cermin kecil yang memperlihatkan wajah seseorang yang tersenyum dengan tenang dan tulus.
“SELAMAT DATANG.”
Sebuah suara kuno menyambutku dari balik meja kayu di depanku. Rambutnya seputih kapas, matanya jernih seperti air hujan.
“Apa yang kamu cari di pasar ini, bocah tampan?” dia bertanya pelan.
Saya ragu-ragu sebelum menjawab, “Saya tidak tahu… mungkin kedamaian batin.”
Dia tersenyum perlahan. “Itu barang yang mahal, Nduk. Tapi bukan berarti kamu tidak bisa memilikinya.”
“Tapi aku tidak membawa uang,” jawabku pelan.
“Uang tidak penting di sini,” katanya pelan. “Yang kami terima hanyalah kebaikan yang telah Anda lakukan.”
Hatiku tenggelam. Kesopanan?
Aku mencoba mengingatnya, tapi tidak banyak yang muncul. Hidupku terlalu sibuk mengasihani diri sendiri, tidak membaik. Saya jarang membantu orang, saya jarang melakukan sesuatu tanpa pamrih. Sekalipun saya melakukannya, saya sering mengharapkan balasan atas apa yang telah saya lakukan.
“Aku tidak punya apa-apa untuk diperdagangkan,” bisikku.
Wanita tua itu menatapku dalam-dalam. “Kalau begitu mungkin kamu tidak datang untuk membeli. Mungkin kamu datang untuk belajar memberi.”
Lalu dia meraih tanganku, menaruh koin perak di telapak tanganku. Hangat, tapi agak berat.
“Pergi ke tenda di ujung barat,” katanya sambil menunjuk. “Di sana, setiap tindakan kebaikan kecil bisa menjadi awal dari segalanya.”
Saya mengikuti instruksinya.
Di ujung pasar, seorang pemuda sedang membagikan air kepada pengunjung yang kelelahan. Dia tersenyum pada semua orang yang lewat tanpa banyak bicara. Saya membantunya — menuangkan air ke dalam gelas kecil, menyapa orang tua, membungkuk ramah kepada anak-anak. Tidak ada transaksi. Tidak ada harga. Hanya tangan yang memberi dan hati yang perlahan menjadi tenang.
Waktu berlalu tanpa disadari. Matahari perlahan terbit dari balik kabut.
Tiba-tiba wanita tua itu datang lagi. Di tangannya ada cermin kecil. Dia memberikannya padaku.
“Lihat,” katanya.
Aku melihat wajahku di pantulan cermin. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Mataku terlihat lebih gelap. Bibirku melengkung lembut. Bukan karena aku terlihat cantik, tapi karena ketulusan baru yang lahir di dadaku.
Sungguh damai sekali, seperti pulang ke rumah setelah sekian lama tersesat tanpa arah.
“Apakah aku… membeli kedamaian itu?” aku bertanya dengan tenang.
Dia tersenyum. “Tidak. Kamu tidak membelinya. Kamu menanamnya sendiri.”
Angin bertiup sepoi-sepoi membawa aroma tanah, dan suara langkah kaki mulai memudar. Ketika saya melihat ke belakang, pasar mulai memudar. Tenda-tenda perlahan menghilang, seperti kabut yang tertiup cahaya pagi. Dalam sekejap, semuanya hilang, meninggalkan jalan tanah yang terbengkalai dan dedaunan berguguran di sekelilingku.
Saya terdiam.
Di tanganku, koin perak itu masih ada. Namun perlahan koin itu berubah menjadi bunga kecil berwarna putih. Entah kenapa aku tahu kalau bunga itu adalah simbol kebaikan pertama yang lahir tulus dari hatiku.
Saya belum pernah melihat pasar itu lagi sejak hari itu.
Namun terkadang, di tengah malam, saat aku membantu seseorang tanpa alasan, aku merasakan angin bertiup lembut, dan sebuah suara kecil berbisik:
“Kamu membawa pasarmu di hatimu, Nduk.”
Dan saya pun paham: kebaikan bukanlah sesuatu yang harus diminta tempatnya. Itu tumbuh dengan setiap niat yang tulus, sekecil apa pun.
Karena pada akhirnya orang menjadi kaya bukan karena hartanya, melainkan karena hati yang rela memberi tanpa mengharapkan imbalan apa pun.
penulis: Wan Nurlaila Putri
Editor: Rara Zarary
News
Berita Teknologi
Berita Olahraga
Sports news
sports
Motivation
football prediction
technology
Berita Technologi
Berita Terkini
Tempat Wisata
News Flash
Football
Gaming
Game News
Gamers
Jasa Artikel
Jasa Backlink
Agen234
Agen234
Agen234
Resep
Download Film
Gaming center adalah sebuah tempat atau fasilitas yang menyediakan berbagai perangkat dan layanan untuk bermain video game, baik di PC, konsol, maupun mesin arcade. Gaming center ini bisa dikunjungi oleh siapa saja yang ingin bermain game secara individu atau bersama teman-teman. Beberapa gaming center juga sering digunakan sebagai lokasi turnamen game atau esports.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.