
Setelah pondok-pondok selesai dibangun, Naim tidak langsung kembali ke desa. Ia merasa mudik hanya akan menjebaknya pada rutinitas yang ia kenal sejak kecil: sawah, kebun, dan pos patroli. Meski dadanya masih penuh tenaga yang ia simpan di kamar nomor tiga belas selama bertahun-tahun.
“Saat aku pulang,” katanya sambil berpamitan, “yang terdengar hanyalah obrolan di kedai kopi. Aku ingin membuat kedai kopi yang obrolannya bisa terdengar di seluruh kota.”
Semua orang tertawa. Mereka tahu Naim sering bicara omong kosong. Namun siapa sangka perkataan itu menjadi kenyataan.
***
Pada tahun-tahun pertama setelah lulus, Naim berimigrasi ke kota kabupaten. Dia membuka sebuah kafe kecil di sudut alun-alun. Bukan warung asik dengan bola lampu gantung atau seni latte dalam bentuk hati. Warung tersebut hanya berlantai terpal, meja bekas kayu, dan kursi plastik yang agak miring.

Namun ada satu hal yang membuat booth ini berbeda: obrolan di dalam.
“Di sini, kopi hanyalah tiket masuk. Yang utama: kita ngobrol,” kata Naim kepada pelanggan pertama.
Dan tepatnya. Dari pagi hingga larut malam, kafe Naim adalah salah satu kafe yang unik parlemen rakyat. Tukang becak, pelajar, guru, bahkan PNS semua mampir. Ada yang bicara soal harga pupuk, ada yang marah karena jalan berlubang, dan ada pula yang hanya tertawa mendengar Naim membahas teori konspirasi sandal jepit yang selalu hilang setelah hari Jumat.
Suara Naim nyaring, jenaka, tapi juga tajam. Dia tidak hanya lucu. Ia berhasil menghubungkan permasalahan parkir liar dengan teori ketidakadilan sosial. Ia mampu menjelaskan harga cabai dengan gaya bercerita seperti stand-up comedy. Orang-orang yang awalnya datang hanya untuk menyeruput kopi, pulang dengan pikiran penuh pikiran baru.
Seiring waktu, toko tersebut tidak menerima cukup orang. Setiap malam ada lebih banyak pekerjaan. Ide lahir dari ngobrol. Tindakan lahir dari ide.
Pertama, mereka bekerja sama menambal lubang tanpa menunggu pemerintah. Mereka kemudian menggalang dana untuk membantu keluarga yang anaknya sakit tetapi tidak mampu membayar pengobatan.
Semua bermula dari sebuah kedai kopi.
Namun pembicaraan yang semakin serius, cepat atau lambat, akan bersentuhan dengan pihak berwenang. Apalagi isu pertambangan yang dulu sempat mengguncang pedesaan, kembali terdengar—kali ini tidak hanya di kampung halaman, tapi juga di daerah lain.
“Kalau satu persatu desa kita ditambang, apa yang tersisa?” seru Naim pada malam debat.
Orang-orang terdiam. Kemudian satu per satu mereka mulai mengangguk.
Dari situlah Naim tak lagi sekadar pemilik kedai kopi. Dia adalah kekuatan pendorong. Demonstrasi kecil-kecilan dimulai di depan tokonya: poster karton, roti panggang pinjaman, suara riuh penuh semangat.
Polisi sering datang, kadang untuk membubarkan, kadang sekadar mengawasi. Namun nama Naim semakin terkenal. Bagi orang kecil, itu seperti suaranya sendiri.
***
Tentu saja, kehidupan sebagai penggerak massa tidak selalu mudah. Ada suatu malam ketika dia duduk sendirian di sebuah toko yang sepi setelah demonstrasi dibubarkan. Ada kalanya petugas polisi berwajah serius mendekatinya dan memperingatkannya “jangan bertindak terlalu jauh”.
Terkadang ia melewatkan waktu di kabin, ketika perlawanan hanya berupa perbincangan di kamar nomor tiga belas, diiringi cerutu menyala dan kopi hitam. Saat itu, dunia tampak sederhana: satu-satunya musuh adalah peraturan kabin yang kaku dan air yang mulai keruh.
Namun setiap kali dia mengingat wajah orang-orang yang datang ke pendiriannya dengan harapan, dia menyadari: inilah jalan yang dia pilih.
“Jika saya berhenti bicara, siapa lagi yang akan bicara?” dia bergumam ke dalam secangkir kopi.
Puncaknya adalah ketika pemerintah justru mengumumkan pembukaan tambang besar yang diklaim mampu menyerap ribuan tenaga kerja. Naim tahu, ini bukan hanya soal pekerjaan. Ini tentang tanah, air, udara dan masa depan.
Kafe itu berubah menjadi markas. Poster-poster ditempel di dinding, spanduk-spanduk digulung di sudut-sudut, dan meja-meja kayu menjadi tempat pertemuan dadakan. Dia berdiri di depan orang banyak, membawa tas jinjing murahan, suaranya yang serak bergema di jalan.
“Kami tidak menentang kemajuan! Kami hanya tidak ingin menjadi korban! Jika kemajuan berarti hilangnya tanah, air mengering, dan anak-anak kami menjadi buruh murah, itu bukan kemajuan – itu perampokan!”
Sorakan meningkat. Polisi berbaris. Ketegangan memenuhi udara.
Di tengah kerumunan, Naim merasa seperti kembali ke kamar tiga belas. Bedanya, kali ini bukan hanya tiga temannya yang mendengarnya, melainkan ratusan orang. Dan dia tahu bahwa di tempat lain, mungkin teman-teman lamanya juga menghadapi jalan hidupnya masing-masing – dengan cara yang berbeda.
Malam setelah demonstrasi, kafe itu sepi. Itu hanya Naim dan setengah cangkir kopi hitam. Dia menyalakan rokok, memandang ke langit.
“Kadang kangen ketawa sama Rijal, berdebat sama Syahdan, dan dimarahi Fatan,” ucapnya pelan. “Tapi mungkin ini caraku menjaga agar api tetap menyala di kamar tiga belas. Api kecil sekarang menyala di jalan.”
Dia tersenyum. Dia tahu besok pagi tokonya akan kembali ramai. Orang-orang akan datang, bukan hanya untuk minum kopi, tapi juga untuk harapan. Dan Naim, dengan segala celotehannya, gelak tawa dan kegagahannya, siap menjadi suaranya.
penulis: Sya’ban Fadol. H
Editor: Rara Zarary
News
Berita Teknologi
Berita Olahraga
Sports news
sports
Motivation
football prediction
technology
Berita Technologi
Berita Terkini
Tempat Wisata
News Flash
Football
Gaming
Game News
Gamers
Jasa Artikel
Jasa Backlink
Agen234
Agen234
Agen234
Resep
Download Film
Gaming center adalah sebuah tempat atau fasilitas yang menyediakan berbagai perangkat dan layanan untuk bermain video game, baik di PC, konsol, maupun mesin arcade. Gaming center ini bisa dikunjungi oleh siapa saja yang ingin bermain game secara individu atau bersama teman-teman. Beberapa gaming center juga sering digunakan sebagai lokasi turnamen game atau esports.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.